Minggu, 13 Desember 2009

Ecological Suicide

Istilah “Ecological Suicide” memang kurang populer bila dibandingkan istilah “Global Warming”. Padahal istilah “bunuh diri ekologi” lebih mengancam dibanding istilah “pemanasan global”. Ya….saat ini. Setiap tindakan-tindakan kita yang dilakukan tanpa tanggung jawab terhadap alam menyebabkan terjadinya bunuh diri ekologi.

Sejak SD, SMP, SMA kita selalu diberi pelajaran tentang rasa tanggung jawab. Dan kali ini manusia mulai meninggalkan rasa tanggung jawabnya terhadap alam. Kita menyedot terus SDA tanpa memberikan solusi dari akibatnya. Kita bernapas memerlukan oksigen, tetapi kita membabat pohon yang menghasilkan oksigen untuk kita hirup. Kita butuh air untuk kita minum, tetapi kita mencemari air bersih untuk keperluan kita minum. Kita butuh tempat untuk tinggal, tetapi kita malah merusak tempat kita tinggal. Jika ekologi (tempat hidup) kita mati karena dibunuh oleh kita sendiri. Kita ga ada tempat lagi yang layak buat di huni. Sementara bumi hanya ada satu. Kemanakah manusia akan mencari tempat hidupnya? Anak kita? Cucu kita? Akan tinggal di suatu kawasan yang dah ga layak secara ekologi (udara, air, pangan dan kesehatan terancam). Sebagai orang tua (dan yang akan jadi orang tua). Tegakah kita?

15 tahun yang lalu (saat aku umur 8 tahun). Lingkungan di rumahku masih dipenuhi pohon-pohon kampung. Ada pohon kecapi yang sangat besar, pohon melinjo, jambu air, jambu biji, pohon kersen, pohon rambutan, pohon jambu mede dan pepohonan lainnya yang memberikan kesempatan bagiku di masa kecil untuk mengenal alam. Kebetulan aku anak yang tomboy. Aku suka memanjat pohon dan menikmati buah-buahan yang langsung kupetik di atas pohon. Bersama dengan burung, bajing, dan kupu-kupu menikmati segarnya udara dan sedapnya buah-buahan serta madu bunga di atas pohon. Alam dan manusia bisa bersahabat.

Kadang aku suka kena ulet bulu dan seluruh badanku bentol-bentol. Namun hal itu lebih mending dibanding menghirup logam-logam polusi yang dapat menimbulkan kanker. Tidak hanya menimbulkan kanker tapi bisa menimbulkan “ecological suicide”. Memang alam sebetulnya sesuatu yang liar, acak, mozaik, heterogen dan rumit. Sementara manusia yang diberkahi akal (yang membedakan dengan makhluk lainnya) menuntut keteraturan, homogen, dan sederhana. Sehingga akal pikiran kita mampu mengontrol dan menguasainya. Akal pikiran kita merupakan berkah sekaligus mengandung tanggung jawab yang harus dipikul.

Bandingkan dengan saat ini (15 tahun ke depan dari masa lalu). Hanya dengan waktu 15 tahun, perubahan bisa begini drastis. Pohon-pohon yang aku sebutkan sebelumnya semua hilang. Yang tersisa hanya pohon rambutan di depan rumahku dan beberapa pohon melinjo tetangga. Jika diperkirakan, luasan RTH yang dulu sekitar 70% kini hanya tersisa 15%. Lalu…apa yang terjadi dengan 15 tahun ke depan ya?

Bisakah kita menjadi manusia? sebagai makhluk berakal yang tidak eksklusif dan mau berbaur dengan makhluk-makhluk lainnya yang berada di alam. Demi mencegah terjadinya “Ecological Suicide” atau “bunuh diri ekologi”.