Kamis, 15 Agustus 2013

Saat Pakaian Dijadikan Agama

Pakaian adalah benda mati yang paling dekat dengan tubuh, tidak heran bila benda mati itu begitu banyak mendapat perhatian dari pihak luar. Dengan cepat orang luar dapat menerka kepribadian diri kita dari cara berpakaiannya. Oleh karena itu, bisa dibilang pakaian adalah cerminan dari kepribadian diri.

Ahli psikologi berpendapat, seseorang yang kurang percaya diri akan bertambah kepercayaan dirinya bila model pakaiannya mendukung karakternya sehingga lebih percaya diri. Oleh karena itu, pakaian sangat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Dari mulai warna pakaian, model pakaian, tekstur bahan dan ketebalan bahan. Pakaian yang sesuai dengan kepribadian akan menjadi nyaman dan mententramkan hati.

Sehingga, kebebasan seseorang menentukan cara berpakaiannya adalah hak azasi bagi manusia. Namun sesuai petunjuk Allah dalam Al-Quran surah Al-Araf 26 pakaian yang baik adalah yang menutup aurat dan indah dipandang (enak dilihat).

Batas aurat sendiripun tak pernah dikatakan dalam Al-Quran. Prof Dr. Quraish Syhab seorang ahli tafsir Al-Quran dan mantan menteri agama republik Indonesia berpendapat  “Penarikan batas aurat tidak ada di dalam Al-Quran”. Batas-batas aurat bisa dirasakan sendiri oleh hati nurani. Batas mana yang bisa menimbulkan syahwat dan yang tidak. Sehingga Dr. Quraish Syhab berpendapat berpakaian yang dinilai terhormat sudah menutup aurat.

Namun…. Berbeda dengan pandangan orang-orang di zaman sekarang. Pakaian seolah adalah sesuatu yang ritualis. Memiliki syarat-syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mendukung agamanya. Orang beragama harus berpakaian begini, modelnya begini, tidak boleh begitu, harus tertutup bagian ini, batasnya segini, warnanya begini dll. Hal ini khususnya bagi seorang wanita. Dan bila ada yang tidak sesuai dengan syarat tersebut, seseorang akan cepat menilai, ia kurang beragama, ia kurang beriman, ia orang yang kurang baik dll.

begitupun laki-laki, pakaian yang ke arab-arab-an biasanya dipandang memiliki agama yang baik.

 Dari pola pikir dan paradigma seperti ini banyak orang melupakan tugas agama yang sebenarnya yaitu sebagai penyempurna ahlak. Agama untuk mensucikan hati dari sifat iri, dengki, sombong, riya, putus asa dll. Agama juga mengajarkan untuk jujur, tanggung jawab, berbuat adil, peduli kepada sesama dan menjaga kelestarian lingkungan. Karakter dan jati diri dari jiwa yang sebenarnya menjadi terkubur oleh penampilan luarnya yang agamis, yang ritualis, yang sesuai dengan tuntutan orang-orang untuk menjadi seorang yang beragama.

“pakaianku sudah sesuai agama, aku adalah orang yang beragama dan aku akan masuk surga”

dengan pola pikir seperti ini, preman berpakaian agamis pun takkan merasa bersalah, pembunuh berpakaian agamis pun takkan merasa bersalah, pembuat keonaran berpakaian agamis pun takkan merasa bersalah dan perusak bumi berpakaian agamis pun juga takkan merasa bersalah.  NB: dipostkan juga di The Kalam of Sustainable Life - Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar